Social Icons

08 December 2012

Nomophobia, ketika ponsel menjadi sumber derita

Banyak fobia yang sudah muncul sejak ratusan tahun yang lalu (takut badut, takut ruang sempit, takut ketinggian), namun ada satu fobia yang baru saja muncul, yakni nomofobia. Ini merupakan kondisi seseorang yang ketakutan berlebih saat tidak membawa atau menggunakan ponsel (no mobile phone phobia, nomophobia).

Penderitanya merasa “terputus dari dunia luar” saat tidak bersama ponsel. Tapi tentu tingkat nomofobia bervariasi dan mungkin saja tidak terlalu terasa oleh sebagian orang.

Apa saja ciri-cirinya? Antara lain, merasa khawatir saat ponsel dalam kondisi tidak aktif atau mati dalam waktu yang lama; terobsesi selalu mengecek ponsel mulai dari panggilan tak terjawab, email atau SMS; selalu memastikan baterai ponsel penuh; stres ketika pesan BBM pending atau “lemot”; dan, seperti disebutkan di atas, selalu membawa serta ponsel Anda ke kamar mandi untuk tetap terhubung.

Pada Februari 2012, studi yang dipublikasikan SecurEnvoy terhadap 1000 orang di Inggris menunjukkan, dua pertiga responden takut bila tanpa ponsel.

Pengguna usia muda, antara 18 hingga 24 tahun, adalah rentang usia terbanyak yang mengalami adiksi atau kecanduan terhadap perangkat bergerak mereka.

Sebanyak 77 persen di antaranya mengaku tak dapat jauh dari ponsel mereka dalam waktu yang cukup lama (baca: beberapa menit!), sementara “hanya” 68 persen dari rentang umur 25 sampai 34 tahun merasakan hal serupa.

Selain mengecek ponsel mereka setidaknya 34 kali dalam sehari, menggunakan ponsel saat berada di toilet digambarkan sebagai “bentuk modern dari membaca koran saat di toilet”.

Selain itu, penelitian tersebut juga menemukan fakta bahwa sekitar 49 persen pengguna ponsel merasa risih jika pesan atau SMS dalam ponsel mereka dibaca pasangannya. Kebanyakan dari mereka (atau kita) juga tidak menggunakan sistem pengaman untuk ponsel.

Setidaknya hanya 46 persen pengguna yang menggunakan kode password sebagai pengaman, dan hanya 10 persen yang menambahkan enkripsi pada data-data penting.

Penderita nomofobia tentunya memiliki kesempatan untuk sembuh. Salah satu metodenya adalah dengan memisahkan pasien dari ponsel dan barang elektronik lainnya selama 10 hari.

Setidaknya dalam 10 hari itu, para pasien akan dapat melihat bahwa dunia tidak kiamat dan terus berjalan normal walaupun ponsel tidak di tangan.

Jika Anda merasa memiliki ketergantungan pada ponsel, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan sendiri. Misalnya, buat komitmen pribadi untuk mematikannya beberapa jam dalam satu hari. Jangan keluarkan ponsel saat sedang makan bersama keluarga atau saat berolahraga. Isi waktu luang dengan kegiatan fisik lain seperti olahraga atau membuat prakarya.


dikutip dari yahoo
------------------------------------------------------------------------
Sang Buddha mengajarkan untuk tidak melekat. Bagaimana kita melatih ketidakmelekatan? Kita berlatih hanya dengan melepaskan kemelekatan, namun ketidakmelekatan ini sangat sulit untuk dipahami. Perlu kebijaksanaan yang kuat utk menyelidiki dan menembusnya, untuk benar-benar mencapai ketidakmelekatan.


Bila anda memikirkannya, apakah orang-orang bahagia atau sedih, puas atau tidak puas, tidak tergantung pada apakah mereka punya banyak atau punya sedikit - tetapi tergantung pada kebijaksanaan. Segala kesulitan bisa dilampaui hanya melalui kebijaksanaan, dengan melihat kebenaran dari segala sesuatu.

Jadi, Sang Buddha menasehati kita untuk menyelidiki, untuk merenungkan. ‘Perenungan’ ini artinya mencoba untuk menyelesaikan masalah-masalah ini dengan benar. Inilah latihan kita. Seperti kelahiran, usia tua, sakit dan kematian - ini adalah peristiwa-peristiwa yang paling alamiah dan umum. Sang Buddha mengajarkan untuk merenungkan kelahiran, usia tua, sakit dan kematian, tetapi beberapa orang tidak memahami hal ini. Mereka berkata, "Apanya yang perlu direnungkan?." Mereka dilahirkan tetapi mereka tidak tahu apa itu kelahiran, mereka akan mati tetapi mereka tidak memahami kematian.


Dasar ajaran Buddha tidaklah banyak, hanya ada kelahiran dan kematian dari penderitaan, dan hal inilah yang Sang Buddha katakan sebagai kebenaran. Kelahiran adalah penderitaan, usia tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan dan kematian adalah penderitaan. Orang-orang tidak melihat penderitaan ini sebagai kebenaran. Jika kita mengetahui kebenaran, maka kita pun mengetahui penderitaan.

Seseorang yang menyelidiki hal ini terus-menerus akan memahami. Setelah memahami, secara bertahap ia akan menyelesaikan masalah-masalahnya. Walau pun jika ia masih memiliki kelekatan, jika ia memiliki kebijaksanaan dan memahami bahwa usia tua, sakit dan kematian adalah sifat alam, maka dia akan bisa meringankan penderitaan. Kita mempelajari Dhamma hanya untuk ini—untuk mengobati penderitaan.


sumber

No comments:

Post a Comment

 
 
Blogger Templates